Naufal Al-bani

Selamat menikmati Cerita nya hormat kami ( naufal al-bani ) sang penulis

Thursday 18 October 2012

NABI ‘ISA MEMERINTAH DUNIA


Nabi ‘Isa turun lagi ke bumi bukan sebagai nabi dengan syariat baru yang menggantikan syariat Islam. Tetapi justru beliau menerapkan syariat Islam.
Setelah masa kepemimpinan Imam al-Mahdi berakhir, Nabi Isa melanjutkan memimpin kaum muslimin sebagai pemimpin dan pemerintah yang adil. Pada masanya berkah dari langit dan bumi tercurah. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,

“Putra Maryam akan turun sebagai Imam yang adil dan pemerintah yang adil. Dia akan mematahkan salib, membunuh babi, mengembalikan kedamaian, menjadikan pedang sebagai sabit, dan membuang rambut palsu dari siapa pun yang berambut palsu. (Di waktu itu) langit menurunkan rizkinya, bumi mengeluarkan berkahnya. Sampai-sampai anak kecil bisa bermain dengan ular tanpa mendapat bahaya darinya, kambing dan serigala berkeliaran bersama tanpa ada bahaya, singa dan lembu berkeliaran bersama tanpa ada bahaya.” (HR. Ahmad)

Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah ra ia berkata, “Rasulullah saw bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, telah dekat waktu turunnya putra Maryam pada kalian sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, menanggalkan jizyah (upeti), harta melimpah sampai-sampai  tidak ada seorang pun yang mau menerimanya; sampai-sampai satu sujud lebih berharga daripada dunia dan seisinya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi)


PILIHAN TINGGAL DUA: MASUK ISLAM ATAU MATI!

Pada masa pemerintahannya, Nabi ‘Isa tidak menerima jizyah dari orang kafir. Perlu diketahui, sebelumnya, pilihan bagi kaum kafir ada tiga: Pertama, Masuk Islam dan wilayahnya otomatis menjadi wilayah Islam, Kedua, Tidak masuk Islam, tetapi wilayahnya menjadi wilayah Islam dan dia harus membayar Jizyah. Dan Ketiga, diperangi. Jika pilihan kedua, yakni membayar Jizyah, ditanggalkan, maka pilihan bagi kaum kafir tinggal dua: masuk Islam atau diperangi. Hal ini bukan berarti Nabi ‘Isa membawa syariat baru. Tetapi Rasulullah Muhammad saw lah yang menjelaskan nasakh (penghapusan) hukum Jizyah melalui sabdanya,

“Demi Allah, sungguh putra Maryam akan turun sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan menanggalkan jizyah.”

Sehingga syariat memungut jizyah dibatasi dengan turunnya ‘Isa as berdasarkan berita dari Nabi Muhammad saw.


SELURUH PENGANUT NASRANI  DAN YAHUDI MASUK ISLAM

Pada masa Nabi ’Isa memerintah, seluruh penganut Nasrani akan masuk Islam. Begitu juga kaum Yahudi yang tidak menjadi pengikut Dajjal, mereka semua masuk Islam. Allah SWT berfirman:

“Wa in min aHlilkitaabi illaa layu`minanna biHi qabla mautiHi wa yaumal qiyaamati yakuunu ‘alayHim syaHiidan.”
[Tidak ada seorang pun dari ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di Hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.] (QS. An-Nisaa’: 159)

Ya, Nabi ‘Isa akan membatalkan agama Nasrani dengan menghancurkan salib dan membatalkan apa yang diyakini orang-orang Nasrani berupa pengagungan terhadap dirinya sebagai tuhan. Orang-orang Nasrani pun mengakui kekeliruan tersebut. Adapun orang-orang Yahudi akhirnya pun mengakui beliau sebagai Nabi dan Rasul dari Allah, bukan anak zina seperti yang dituduhkan orang-orang jahat dari kalangan mereka.


YA’JUJ DAN MA’JUJ KELUAR

Pada masa Nabi ‘Isa memerintah di bumi, keluarlah Ya’juj dan Ma’juj. Ya’juj dan Ma’juj adalah nama dua suku. Mereka manusia juga, keturunan Adam as. Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah keturunan Adam. Seandainya mereka dilepas mereka pasti merusak kehidupan manusia.” (HR. ath-Thabrani)

Karena sifat merusaknya inilah, Raja Dzul Qarnain beribu tahun yang lalu membangun dinding dari besi dan tembaga untuk mengurung Ya’juj dan Ma’juj. Atas kehendak Allah, dinding ini akan hancur luluh menjelang Kiamat tiba, tepatnya di masa Nabi ‘Isa sedang memerintah di bumi.

Nabi Muhammad saw bersabda,
“Kemudian Isa as didatangi oleh sekelompok orang yang telah Allah lindungi dari Dajjal. Lalu dia mengusap wajah-wajah mereka dan mengabarkan kepada mereka akan kedudukan mereka di Surga. Ketika mereka sedang seperti itu, Allah mewahyukan kepada ‘Isa, ‘Sesungguhnya Aku telah mengirim hamba-hamba kepunyaan-Ku yang tidak seorang pun mampu memerangi mereka. Maka lindungilah hamba-hambaKu ke Gunung Thur.’ Allah mengirim Ya`juj dan Ma`juj. Mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Kelompok pertama dari mereka lewat di Danau Thabariah dan meminum habis air yang ada di sana. Lalu bagian belakang mereka lewat di sana, mereka berkata, ‘Sungguh dahulu di sini ada air!’ Nabiyullah Isa dan para sahabatnya dikurung hingga kepala sapi salah seorang mereka lebih berharga dari seratus dinar milik salah seorang kalian hari ini.” (HR. Muslim)

Perlu diketahui, Gunung Thur itu terletak 4 km sebelah selatan Masjidil Haram.


NABI ‘ISA BERDOA AGAR YA’JUJ MA’JUJ DI MUSNAHKAN

Dalam keadaan terkepung oleh Ya`juj dan Ma`juj inilah Nabi Isa dan para sahabatnya berdoa kepada Allah agar memusnahkan dua suku bangsa Turk perusak ini. Hadits an-Nawwas bin Sam’an, dari Nabi saw beliau bersabda,

“Lalu Nabiyullah Isa as dan para sahabatnya berdoa kepada Allah SWT. Maka Allah mengirimkan mereka ulat di tengkuk-tengkuk mereka (Ya`juj dan Ma`juj) sehingga mereka pun binasa secara serempak.” (HR. al-Hakim, Ibnu Mandah, dan ath-Thabrani)

Populasi Ya’juj dan Ma’juj memang sangatlah banyak. Seluruh permukaan bumi dipenuhi oleh Ya’juj dan Ma`juj. Hadits an-Nawwas, dari Nabi saw beliau bersabda,:

“Kemudian Nabiyyullah Isa as dan para sahabatnya turun ke bumi. Mereka tidak menemukan sejengkal tanah pun di bumi kecuali dipenuhi oleh mayat mereka (Ya`juj dan Ma`juj).”

Ada hadits yang cukup lengkap memberitakan peristiwa ini. Dari Abu Sa’id al-Khudri ra ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

“(Dinding) Ya`juj dan Ma`juj dibuka. Lalu mereka keluar kepada manusia sebagaimana difirmankan Allah SWT:‘Mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi’. Maka mereka menyebar di bumi sementara kaum Muslimin berlindung dari mereka ke dalam kota-kota dan benteng-benteng mereka dan membawa serta ternak-ternak mereka. Mereka (Ya`juj dan Ma`juj) meminum seluruh air bumi, sampai-sampai sebagian mereka lewat di sungai dan meminum airnya sampai kering. Sehingga yang datang setelah mereka lewat di sungai tersebut seraya berkata, ‘Sungguh dahulu di sini ada air!’ Hingga tidak tersisa seorang manusia pun kecuali lari ke dalam benteng dan kota. Mereka (Ya`juj dan Ma`juj) berseru, ‘Kita telah selesai dari mereka para penduduk bumi, tinggal penduduk langit.’ Kemudian salah seorang dari mereka mencabut tombaknya kemudian melemparkannya ke langit dan kembali kepadanya dalam keadaan berlumuran darah sebagai ujian dan fitnah. Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, Allah mengirimkan ulat ke tengkuk-tengkuk mereka seperti ulat yang  menimpa hidung kambing dan unta, lalu keluar dari tengkuk-tengkuk mereka hingga mereka mati. Tidak terdengar kabar tentang mereka. Kaum Muslimin berkata, ‘Tidakkah salah seorang menjual dirinya untuk kita, lalu melihat apa yang diperbuat musuh?’ Salah seorang dari mereka bersiap melakukannya demi mendapatkan pahala buat dirinya, sementara dia yakin bahwa dia akan dibunuh. Maka dia turun dan menemukan mereka telah menumpuk menjadi bangkai. Dia menyeru, ‘Wahai sekalian kaum Muslimin! Terimalah kabar gembira, sungguh Allah telah melindungi kalian dari musuh-musuh kalian.’ Mereka pun keluar dari kota-kota dan benteng-benteng mereka, dan melepas ternak mereka. Binatang ternak mereka tidak memiliki makanan selain daging Ya’`juj dan Ma`juj, sehingga air susunya menjadi jauh lebih banyak dari banyaknya air susunya bila hanya menemukan tumbuh-tumbuhan.  (HR. ath-Thabrani dan Ibnu Majah)

Tuesday 16 October 2012

Tinggalkanlah Sikap Berlebih-lebihan !!!

BERLEBIHAN DALAM BERBICARA

Berlebihan dalam berbicara tidak mengandung kebaikan sama sekali karena mengandung kemudharatan murni. Ketika seseorang mengetahui bahwa setiap kata (yang dia ucapkan) itu akan ditulis sebagai pahala atau dosa baginya, dia menahan diri dari kebanyakan pembicaraannya. Dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Ketika sempurna akal seseorang, sedikitlah bicaranya.

Betapa banyak dalil dalam Kitabullah dan Sunnah yang mendorong untuk meninggalkan sikap berlebih-lebihan dan menahan diri dari kebanyakan pembicaraan. Diantaranya :
“Tiada suatu ucapan yang diucapkannya melainkan didekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” QS. Qaf ; 18
Alloh ‘azza wa jalla juga berfirman :
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” QS. An Nisaa’ ; 114

Asy-Syaikh ibnu Sa’di rahimahullah berkata : “Maksudnya, tidak ada kebaikan pada kebanyakan apa yang dibisikkan dan diperbincangkan manusia. Jika tidak ada kebaikan padanya, maka bisa jadi berupa sesuatu yang tidak berfaedah, seperti terlalu banyak berbicara yang mubah. Dan bisa jadi pula berupa kejelekan dan kemudharatan murni, seperti pembicaraan yang diharomkan dengan segala jenisnya.” [ Tafsir Ibnu Sa'di / 165 ]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallohu ‘anh, dia berkata, Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan yang baik atau diam.” HR. Bukhari dan Muslim

Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ini termasuk jawami’ul kalim. Karena seluruh ucapan itu bisa jadi baik atau jelek, atau bisa jadi condong kepada salah satunya. Termasuk ucapan yang baik adalah semua ucapan yang dituntut, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Ucapan seperti ini diizinkan meskipun jenisnya berbeda-beda. Termasuk ditakwil kepada ucapan yang baik. Sedangkan yang selain itu, baik ucapan yang jelek atau yang bisa ditakwil kepadanya, maka ketika ada keinginan untuk membicarakannya, dia diperintahkan untuk tetap diam.” [ Fathul Bari ; 12/60 ]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : 
“Termasuk baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang dia tidak berkepentingan terhadapnya.” [ HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hasan ]

Makna hadits tsb, bahwa termasuk baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan segala sesuatu yang dia tidak berkepentingan terhadapnya. Karena menghadapkan diri kepadanya dengan ucapan ataupun perbuatan merupakan sikap berlebih-lebihan yang tidak ada manfaatnya sama sekali.

Jarang orang menyesal karena meninggalkan sikap berlebih-lebihan. Namun, orang yang berbicara dalam hal yang tidak perlu itulah yang sering menyesal. Jarang pula kamu dapati ada orang yang pada dirinya terkumpul antara akhlaq yang baik dan berbicara tidak karuan. Bahkan hal itu hampir tidak bisa didapati.


BERLEBIHAN DALAM MEMANDANG

Membolak-balikkan pandangan pada setiap yang menakjubkan, menyenangkan dan selainnya seperti istana-istana, rumah-rumah, dan kendaraan serta harta benda lainnya, bukanlah termasuk akhlaq yang baik.

Alloh telah melarang kita dari membolak-balikkan pandangan kepada kenikmatan dunia yang akan hilang dan keindahannya yang fana. Karena hal itu merupakan sumber ketergantungan diri terhadap dunia.

Alloh ‘azza wa jalla berfirman :
“Dan janganlah kau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Robbmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” QS. Thaha ; 131

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Memandang pepohonan, kuda, dan binatang ternak; jika disebabkan anggapan baik terhadap dunia, kekuasaan dan harta; maka hal itu tercela. Adapun jika pandangan mereka tsb karena suatu sebab yang tidak mengurangi agama dan didalamnya hanyalah terdapat kesenangan bagi jiwa seperti memandang bunga-bungaan, maka ini termasuk perkara sia-sia yang merupakan sarana untuk membantu al-haq.” [ Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah hal.35 ]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallohu ‘anh, bahwasanya Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah melihat kepada orang yang di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak memandang rendah nikmat Alloh atas kalian.” HR. Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim

An-Nawawi rahimahullah berkata : “Ibnu Jarir dan selainnya berkata : ‘Hadits ini mengumpulkan berbagai jenis kebaikan. Karena, jika seseorang melihat orang lain yang dilebihkan atasnya dalam hal dunia, jiwanya akan menuntut yang semisal dengannya dan dia menganggap kecil nikmat Alloh Ta’ala yang ada padanya. Dia juga bersemangat untuk menambah supaya bisa menyusul atau mendekati orang tsb. Inilah yang dijumpai pada keumuman manusia. Adapun jika dalam perkara dunia itu dia memandang kepada orang yang berada dibawahnya, menjadi tampaklah olehnya nikmat Alloh atasnya sehingga dia mensyukurinya, tawadhu’, dan mengerjaikan kebaikan padanya’.” [ Syarh An-Nawawi 'ala Muslim ]

Ada pula pandangan yang diharomkan, seperti memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom), amrad (anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya), dll.
Yang masih tersisa adalah sering menoleh, baik dengan mata ataupun wajah. Sering menoleh ini meniadakan akhlaq yang baik, bahkan merupakan pertanda kebodohan dan adab yang jelek.

‘Ali radhiyallohu ‘anh berkata : Dua tingkah laku dan kebiasaan yang tidak akan hilang dari orang yang dungu: sering menoleh dan cepat menjawab tanpa pengetahuan.” [ Kitab Al-Adab ; Ibnu Syamsul Khilafah, hal.56 ]


BERLEBIHAN DALAM BERGAUL
‘Uzlah (mengasingkan diri) dari manusia terkadang merupakan sarana untuk menjaga lisan, penglihatan, dan pendengaran dari mendengarkan hal-hal yang mengeruhkan jiwa dan memenuhi hati,  berupa kegilaan, dendam dan permusuhan. Mengasingkan diri merupakan perkara yang disukai untuk menjaga waktu dan introspeksi diri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengasingkan diri dari manusia dalam hal berlebih-lebihan didalam perkara yang mubah dan perkara yang tidak bermanfaat -karena zuhud terhadapnya-, maka hal itu mustahab.” [ Fatawa Ibnu Taimiyah; 10/405 ]

Ibnul Qoyyim berkata : “Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam bergaul merupakan penyakit parah yang mendatangkan semua kejelekan. Betapa banyak pergaulan dan persahabatan itu menghilangkan nikmat, menabur benih permusuhan, dan menanamkan rasa sakit didalam hati yang mampu melenyapkan gunung yang kokoh, sementara rasa sakit dalam hati tsb tidak akan hilang. Sehingga berlebihan dalam bergaul merupakan kerugian dunia dan akhirat. Hanya saja seorang hamba sepantasnya mengambil dari pergaulan itu sebatas kadar kebutuhan.” [ Bada''i'ul Fawa'id hal.231 ]

Beliau juga berkata : “Berkumpul dengan para saudara itu ada dua bagian :
Pertama, berkumpul untuk menghibur hati dan mengisi waktu. Perkumpulan ini mudharatnya lebih kuat daripada manfaatnya. Minimal, perkumpulan seperti ini akan merusak hati dan menyia-nyiakan waktu.

Kedua, berkumpul dengan mereka untuk saling menolong diatas sebab-sebab keselamatan serta saling berwasiat untuk menetapi kebenaran dan kesabaran. Perkumpulan ini termasuk ghanimah yang paling agung dan paling bermanfaat.

Namun, didalamnya terdapat tiga bencana :
1. Sebagian mereka menghias-hiasi (perkataan) sebagian yang lain
2. Berbicara dan bergaul melebihi kebutuhan
3. Perkumpulan tsb menjadi keinginan dan kebiasaan yang bisa menyebabkan seseorang terhenti dari tujuannya.

Bahkan, terus menerus bergaul dengan manusia tanpa alasan yang membolehkannya merupakan penyebab riya’ dan jalan menuju kebinasaan.
Ibnul Jauzy berkata : ‘Hampir tidak ada yang menyukai berkumpul dengan manusia kecuali (hati) yang kosong. Karena hati yang tersibukkan dengan al-haq akan lari dari makhluk. Ketika hati kosong dari mengetahui al-haq, dia pun tersibukkan dengan makhluk. Sehingga dia pun beramal untuk dan karena mereka, dan dia binasa karena riya’ tanpa dia mengetahuinya’.” [ Shaidul Khathir hal.217 ]

Wanita Pemilik Mahar Termahal dan Terbesar, Siapakah Dia ?

Dialah UMMU SULAIM radhiyallohu ‘anha…,
Ummu Sulaim mau menikah dengan Abu Thalhah dengan syarat Abu Thalhah masuk Islam. Syarat ini merupakan bukti tentang unggulnya akal dan kuatnya keimanan Ummu Sulaim terhadap Rabb-nya. Ummu Sulaim tidak mensyaratkan harta, kedudukan dan lainnya. Bahkan pandangan yang pertama dan yang didahulukan adalah keshalihan suami. Padahal Abu Thalhah telah membujuknya dengan harta, emas dan perak agar mau menerima untuk menjadi suaminya. Tetapi dia menolak yang selain Islam.
Melihat realitas kebanyakan kaum wanita dimana sekarang ini tentang sisi pandang mereka mengenai pernikahan, akan terlihat perbedaan yang jelas dan jarak yang jauh antara mereka dengan generasi Ummu Sulaim.
Pikiran dan ambisi wanita di zaman sekarang tentang pernikahan adalah murni materi. Dia akan melihat harta yang dimiliki oleh sang pelamar, menuntut untuk dipenuhi pembantu, sopir, dan lainnya. Namun dia lalai untuk mencari tentang agama sang pelamar dan ketaqwaannya kepada Alloh. Tidak ragu lagi ini adalah bukti tentang kurangnya fiqh sekelompok wanita tsb.
Padahal apa perlunya harta dan kedudukan bagi istri apabila suaminya tidak takut kepada Alloh dan bertaqwa kepada-Nya, bahkan menyia-nyiakan perintah Alloh dan berani untuk melanggar batasan-batasanNya ??? Suami yang demikian keadaannya pantas untuk tidak dipercaya oleh istri yang berada didalam perlindungan dan kekuasaannya.
Benarlah Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridha dalam hal agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia. Apabila kalian tidak mengerjakannya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.”
Dan pantaslah Ummu Sulaim radhiyallohu ‘anha sebagai pemilik mahar termahal dan terbesar secara mutlak.

...Istimewanya wanita dalam Islam...

Kaum feminis bilang susah jadi wanita ISLAM, lihat saja peraturan dibawah ini :

1. Wanita auratnya lebih susah dijaga berbanding lelaki.
2. Wanita perlu meminta izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya.
3. Wanita saksinya kurang berbanding lelaki.
4. Wanita menerima pusaka kurang dari lelaki.
5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak.
6. Wanita wajib taat kpd suaminya tetapi suami tak perlu taat pd isterinya.
7. talak terletak di tgn suami dan bukan isteri.
8. Wanita kurang dlm beribadat karena masalah haid dan nifas yg tak ada pada lelaki.

makanya mereka nggak capek-capeknya berpromosi untuk "MEMERDEKAKAN WANITA ISLAM"

Pernahkah kita lihat sebaliknya (kenyataannya)??

Benda yg mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan ditempat yg teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata tidak akan dibiar terserak bukan?

Itulah bandingannya dgn seorg wanita. Wanita perlu taat kpd suami tetapi lelaki wajib taat kepada ibunya 3 kali lebih utama dari bapaknya. Bukankah ibu adalah seorang wanita?

Wanita menerima pusaka kurang dari lelaki tetapi harta itu menjadi milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya, manakala lelaki menerima pusaka perlu menggunakan hartanya utk isteri dan anak-anak.

Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak, tetapi setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, malaikat dan seluruh makhluk ALLAH di mukabumi ini, dan matinya jika karena melahirkan adalah syahid.

Di akhirat kelak, seorang lelaki akan dipertanggungjawabkan terhadap 4 wanita ini: Isterinya, ibunya, anak perempuannya dan saudara perempuannya.

Manakala seorang wanita pula, tanggungjawab terhadapnya ditanggung oleh 4 org lelaki ini: Suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya.

Seorang wanita boleh memasuki pintu Syurga melalui mana mana pintu Syurga yg disukainya cukup dgn 4 syarat saja : Sembahyang 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat suaminya dan menjaga kehormatannya.

Seorg lelaki perlu pergi berjihad fisabilillah tetapi wanita jika taat akan suaminya serta menunaikan tanggungjawabnya kepada ALLAH akan turut menerima pahala seperti pahala org pergi berperang fisabilillah tanpa perlu mengangkat senjata.

Masya ALLAH ... demikian sayangnya ALLAH pada wanita .... kan? 

Di tulis ole 
(Naufal Al-bani )

kalow ada salah mohon di komen dan di benarkan..

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang haji mabrur ,
والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.” [HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349)]
Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah.  Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik  lantaran jamaah haji yang baik.” 

Tanda-Tanda Haji Mabrur
Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik". [HR. Muslim (1015).]
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair :
Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang haji mabrur hajinya.
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.” 
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 3/262 (no. 1264)]
Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan  jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” [ QS. Al-Baqarah 197.]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [ HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad (7136)]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.

Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal  yang lebih mantap dan  benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.” 
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.” 
Penutup
Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda.  Wallahu a’lam.
 
 
Hormat kami 
( Naufal Al-bani bin abdul karim )

Naufal Al-bani Menepis Galau Dikala Menjomblo

Seseorang yang tidak kunjung menikah, dan pikirannya terlalu disibukkan dengan hal tersebut dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan berpaling menjadi kegalauan. Sedih ya…kok belum ada juga jodoh yang datang, sedih ya…teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.
Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الكِتَابَ، وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

“Tidak ada iri kecuali untuk dua jenis manusia: Seorang yang Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al Qur-an), membacanya ketika shalat di waktu malam dan di waktu siang, dan yang kedua adalah seorang yang Allah berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia membelanjakannya dalam ketaatan baik di waktu malam maupun di waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya nikmat itu dari diri orang tersebut.
Lantas bagaimana jika ghibthah itu kita tujukan pada pernikahan teman-teman kita? Maka mungkin perlu kita tinjau ulang hal apa yang membuat kita iri, jangan-jangan hanya sekedar ingin ikut-ikutan agar senasib dan sama statusnya dengan teman-teman yang telah menikah, atau iri ingin mendapat suami yang kaya seperti Fulanah X supaya hidup enak, atau yang populer supaya ikut populer, atau yang tampan, ningrat dan lain sebagainya tanpa memperhatikan bagaimana agamanya, maka hal ini tentunya tidak akan membuahkan kebaikan bagi diri kita.
Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuknya.
Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
إنما يعطى الرجل على قدر نيته
“Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.”
Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.
Mungkin berbagai usaha dan sebab-sebab yang dituntunkan syari’at untuk mempermudah perjodohan telah dilakukan, namun hambatan dan kegagalan itu masih menghadang di depan mata, sehingga akhirnya hati pun merasa sempit dan berputus asa. Dalam keadaan yang demikian ada baiknya kita tengok kegagalan dari saudari-saudari kita dan renungi betapa apa yang kita alami tidak seberapa, betapa nikmat Allah yang masih bisa kita rasakan demikian besarnya dibanding kegagalan untuk segera menikah yang dianggap buruk dalam pandangan sebagian manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti kita dalam sabdanya:
انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan kita.
Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ( ) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

“Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.”(QS. Al-Insyirah: 7-8).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Maka jadikanlah kehidupanmu kehidupan yang penuh dengan kesungguhan, apabila engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat, dan jika engkau telah selesai mengerjakan urusan akhirat, maka kerjakanlah urusan dunia. Jadilah engkau bersama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum mengerjakan tugas dengan memohon pertolongan-Nya, dan setelah mengerjakan tugas dengan mengharapkan pahala-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. III, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal.255)
Adakalanya kita dapat menepis seluruh kegalauan hati, namun terkadang juga masih ada keresahan-keresahan yang menyibukkan pikiran kita. Mungkin hal itu terjadi karena masih adanya waktu luang yang tidak kita manfaatkan. Jiwa manusia memang senantiasa dalam salah satu dari dua keadaan, bisa jadi jiwa ini disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, namun jika tidak, maka jiwa itu justru yang akan menyibukkan pemiliknya. (Nashihaty Linnisaa, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hady Al-Waadi’i, cet. I, Dar Al-Atsar, th. 1426 H. hal. 20)
Syaikh ‘Abdurrazaaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullah memiliki resep jitu yang beliau kumpulkan dari petunjuk Allah Ta’ala dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga kondisi keimanan kita. Beliau menjelaskan sebab-sebab yang dapat meningkatkan iman di antaranya:
Mempelajari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu agama yang diambil dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bisa dengan membaca Al Qur-an dan mentadabburinya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, merenungi perjalanan hidup nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, merenungi ajaran-ajaran luhur agama ini, membaca perjalanan hidup salaful ummah, dan lain sebagainya. Namun ilmu itu sendiri bukanlah tujuan, melainkan sarana agar dapat diamalkan dalam bentuk beribadah kepada Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan lainnya.
Merenungi ayat–ayat kauniyah Allah yang ada pada makhluk-Nya
Bersungguh-sungguh dalam beramal shalih serta memurnikannya untuk mengharap wajah Allah semata, baik berupa amalan hati, lisan, maupun anggota badan.
(Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi, ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, cet. II, Maktabah Dar Al-Manhaj, th. 1431 H)

Adapun sebab-sebab yang dapat mengurangi iman dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor dari dalam berupa kebodohan, lalai, berpaling dan lupa, mengerjakan maksiat dan berbuat dosa, serta nafsu yang menyeru pada keburukan. Sedangkan sebab dari luar berupa syaitan, dunia dan fitnahnya, serta teman-teman yang buruk. Semoga dengan mengetahui sebab-sebab tersebut, kita dapat lebih waspada dan berusaha mengamalkannya agar terjaga dari keterpurukan iman bagaimana pun kondisi kita. Bukankah gagal menikah masih lebih baik dibanding gagal mengabdikan diri kepada Allah?
Terakhir mari kita renungkan perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah ketika menafsirkan ayat “alam nasyrah laka shadrak” (Al-Insyirah: 1),
“Manusia yang Allah lapangkan dadanya untuk menerima hukum kauni, akan engkau dapati dia ridha terhadap ketentuan dan taqdir-Nya, dan merasa tenang terhadap hal itu. Dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang hamba, dan Allah adalah Rabb yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya, orang yang berada dalam kondisi seperti ini akan senantiasa dalam kebahagiaan, tidak sedih dan berduka, dia merasa sakit namun tidak sampai menanggung kesedihan dan duka cita, dan untuk hal yang demikian telah datang hadits shahih bahwasanya Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya itu baik, tidak ada yang mendapati keadaan seperti itu kecuali bagi seorang mukmin, apabila keburukan menimpananya, dia pun bersabar maka itu menjadi kebaikan baginya, dan apabila kebahagiaan meliputinya, dia pun bersyukur maka itu menjadi kebaikan baginya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hal.247)

Undangan Ke Surga

Mau dapat undangan ke Surga? Semua pasti mau dunk...Yukkk sini-sini dibaca Ɣǻª

* Apakah engkau ingin merasa dekat kepada Allah Azza wa Jalla ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Keadaan terdekat yang dimiliki seorang hamba terhadap Rabbnya adalah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah didalamnya do’a”. [HR. Muslim]

* Apakah engkau ingin mendapatkan pahala ibadah Haji bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?

Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Umrah di bulan Ramadhan setimpal (pahalanya) Haji atau Haji bersamaku”. [HR. Bukhari Muslim/Muttafaqun ‘alaihi] 

* Apakah engkau ingin sebuah Rumah di Surga?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : ”Barangsiapa yang membangun Masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisalnya di Surga”. [HR. Muslim]

* Apakah engkau ingin mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Sesungguhnya Allah akan ridha terhadap seorang hamba yang makan sebuah makanan kemudian ia memuji-Nya atas makanan tersebut dan meminum minuman kemudian ia memuji-Nya karena minuman tersebut”. [HR. Muslim]

* Apakah engkau ingin dikabulkan do’anya?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Do’a yang tidak akan ditolak adalah do’a diantara Adzan dan Iqomah”. [HR. Abu Daud]

* Apakah engkau ingin mendapatkan pahala Shaum (puasa) sepanjang tahun?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Shaum 3 (tiga) hari dari setiap bulan (penanggalan Hijriah), (pahalanya) seperti Shaum sepanjang tahun”. [HR. Bukhari Muslim/Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah engkau ingin memiliki kebaikan seperti Gunung?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang menyaksikan Jenazah sehingga ia menshalatkannya maka baginya satu pundi pahala. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkannya maka baginya dua pundi pahala”. Dikatakan, “seperti apa dua pundi itu ?”. Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab : “Seperti dua Gunung besar”. [HR. Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah engkau ingin bersama dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di Surga?

Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Aku dan orang yang menyantuni anak Yatim seperti ini di Surga”. Beliau shallallahu alaihi wasallam mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. [HR. Bukhari]

* Apakah engkau ingin mendapatkan pahala seorang Mujahid atau pahala orang Shaum atau Tahajjud?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Orang yang menyantuni janda yang ditinggalkan oleh suaminya dan orang yang menyantuni orang miskin seperti Mujahid fi Sabilillah”. Dan aku mengira Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seperti orang yang tidak henti melakukan Tahajjud dan seperti orang yang Shaum tidak berbuka (sepanjang tahun).”[HR. Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah engkau ingin mendapatkan jaminan pribadi dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk masuk Surga? 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang menjamin bagiku apa yang ada diantara dua jenggotnya (mulut/lidahnya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin Surga baginya.” [Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah engkau ingin agar amalan anda tidak terputus walaupun setelah engkau wafat? 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara ; Sadaqah Jariyah, ‘ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya” [HR. Muslim]

* Apakah engkau ingin memiliki harta simpanan di Surga?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Laa Hawla walaa quwwata illah billah” (Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas izin Allah), adalah salah satu perbendaharaan dari perbendaharaan Surga.”[Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah engkau ingin mendapatkan pahala Qiyamullail (shalat malam) sepanjang malam? 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang shalat ‘isya secara berjama’ah, maka seakan-akan ia telah Tahajjud setengah malam dan barangsiapa yang melaksanakan shalat subuh secara berjama’ah, maka seakan-akan ia telah Tahajjud sepanjang malam.” [HR. Muslim]

* Apakah engkau ingin membaca sepertiga Al-Qur’an dalam satu menit? 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Qul Huwallahu ahad’ (Surat Al-Ikhlash) setimpal dengan sepertiga Al-Qur’an.” [HR. Muslim]

* Apakah kamu ingin timbangan kebaikanmu bertambah berat?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Dua kalimat yang dicintai oleh Yang Maha Pemurah, ringan diucapkan, namun berat timbangannya di Sisi Allah, yakni ‘Subhanallahi wa bihamdihi dan subhanallail ‘adziim.” [HR. Bukhari]

* Apakah kamu ingin dimudahkan rezki dan dipanjangkan usia mu?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang ingin dimudahkan rezkinya atau dipanjangkan usianya, maka hendaknya ia menyambung tali persaudaraan.” [HR. Bukhari]

* Apakah kamu ingin Allah senang berjumpa denganmu?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang merindukan berjumpa dengan Allah, maka Allah merindukan pula berjumpa dengannya.” [HR. Bukhari]

* Apakah kamu ingin dilindungi oleh Allah?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang melaksanakan shalat subuh, maka ia ada dalam perlindungan Allah.” [HR. Muslim]

* Apakah kamu ingin agar dosa perbuatanmu diampuni oleh Allah?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang mengatakan ‘Subhanallahi wa bihamdihi’ dalam satu hari seratus kali, maka akan dihapuskan dosanya walaupun seperti buih di lautan”. [Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah kamu ingin dijauhkan dari Neraka sejauh tujuh puluh tahun?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang melaksanakan Shaum (Puasa) di Jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari Api Neraka , sejauh tujuh puluh musim gugur”. [HR. Bukhari]

* Apakah kamu ingin Allah Azza wa jalla bershalawat (memberikan rahmat) kepada hamba-Nya?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dengan satu shalawat, maka Allah akan memberikan shalawat kepadanya sebanyak sepuluh kali.” [Muttafaqun ‘alaihi]

* Apakah kamu ingin derajatmu diangkat oleh Allah?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, yang artinya : “Tidak merendahkan diri seseorang karena Allah, kecuali Allah subhanahu wa ta'ala akan mengangkat derajatnya”. [HR. Muslim]

----------------------------------
Begitu banyak jalan untuk memenuhi undangan Allah. Sayangnya kita masih lebih bersegera memenuhi undangan makan siang, atau makan malam dari kolega, undangan pesta ini dan itu yang di dalamnya banyak terdapat kemungkaran, daripada bersegera memenuhi undangan Allah dan Rasul-Nya. Wallahu musta'an!

Wahai Saudariku, Kenapa Engkau Berpakaian Tapi Telanjang?

Budaya, gaya hidup dan cara berpikir Muslim dan Muslimah tentu sangat berbeda dengan mereka.

Oki Setiana Dewi, artis layar lebar yang sukses memerankan tokoh Anna Althafunnisa dalam film “Ketika Cinta Bertasbih” pada suatu kesempatan mengatakan, “Semua bagian tubuh berharga itu telah dikategorikan dengan sebutan aurat, baik laki-laki dan perempuan. Bagian tubuh perempuan yang termasuk aurat harus ditutupi lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. “Kenapa perempuan harus lebih banyak menutupi bagian tubuhnya? Sebab perempuan memang dipenuhi dengan bagian tubuh yang berharga dan harus dijaga dengan jilbab atau busana yang menutupnya,” ujarnya.

Fenomena berbusana Muslimah, berjilbab atau sekadar berkerudung di kalangan artis, model dan selebritis sedikit banyak telah ikut menyumbang sosialasasi budaya Islam di tengah masyarakat sehingga semakin banyak wanita Muslimah Indonesia yang berbusana Muslimah, berjilbab, atau sekadar berkerudung.

Dengan semakin marak dan memasyarakatnya budaya Islam ini di tengah masyarakat kita patut menghaturkan rasa syukur kepada Allah swt. Selain rasa syukur, pada saat yang sama, rasa sesal juga wajar muncul di hati. Rasa sesal ini muncul karena masih banyak saudari-saudari seiman kita yang belum, tidak mau, tidak bisa, atau salah paham dalam memahami definisi jilbab yang sesungguhnya, sehingga tidak sedikit dari mereka yang masih belum memenuhi seluruh syarat dan ketentuan berbusana sebagaimana yang telah diatur oleh Sang Pembuat syari’at.

Mengapa ada sebagian Muslimah yang belum memenuhi seluruh syarat dan ketentuan berbusana Muslimah? Karena ada sebagian Muslimah ketika beraktivitas di luar rumah atau ketika berhadapan dengan non muhrimnya ketika berada di rumah mengenakan pakaian tapi masih ada bagian aurat lainnya yang terbuka seperti rambut. Mengenakan pakaian ketat, pendek, berbahan tipis, dan atau berbahan transparan. Karena ada sebagian Muslimah yang mengenakan jilbab ketat, pendek, berbahan tipis, dan atau berbahan transparan.

Muslimah seperti ini meskipun mengenakan pakaian atau bahkan berjilbab menurut Rasulullah saw dikategorikan sebagai telanjang.

"Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. sesungguhnya aroma surga itu bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian." (HR. Muslim)

Ibnul Jauzi yang berpendapat bahwa berpakaian tapi telanjang ada tiga makna;

Pertama, wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya.

Kedua, wanita yang membuka sebagian aurat tubuhnya.

Ketiga, wanita yang mendapatkan nikmat Allah namun tidak bersyukur kepada-Nya.

Menurut Imam An-Nawawi, berpakaian tapi telanjang mengandung beberapa arti. Pertama, berpakaian atau dibungkus nikmat Allah swt tetapi telanjang dari bersyukur kepada-Nya. Kedua, terbungkus pakaian tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian terhadap akhirat serta tidak berbuat taat. Ketiga, mengenakan pakaian tetapi tampak sebagian auratnya; Keempat, berpakaian tipis yang masih memperlihatkan warna kulit dan lekuk tubuhnya.

Allah swt memberitahukan kepada kita tujuan diturunkan pakaian kepada kita adalah untuk menutup aurat. Jika berpakaian tapi jika ada sebagian aurat yang masih terbuka, lekuk tubuh jelas terlihat karena mengenakan pakaian ketat, atau anggota tubuh yang wajib ditutupi dan warna kulit nampak karena mengenakan pakaian tipis dan transparan berarti kita menyalahi aturan Allah swt dan tujuan Allah swt menurunkan pakaian, yang sama artinya kita berani menentang Allah swt.


يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf [7]:26)

Wahai saudariku! janganlah kalian mau ditipu oleh setan yang menyuruhmu untuk berpakaian tapi sesungguhnya telanjang! Jika engkau tidak mau dan tidak dapat ditipu oleh setan berarti engkau tidak menjadikan setan sebagai pemimpinmu.

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raaf [7]:27)

Wahai saudariku, kenapa engkau berpakaian tapi telanjang? Apa niat dan tujuanmu? Apakah karena ingin tampil trendy? Apakah karena ingin memamerkan anggota tubuh dan keindahan tubuhmu? Apakah ingin merasa modern dan tidak ingin dicap kolot dan ketinggalan jaman? Apakah karena takut tidak bisa mendapatkan dunia berupa pekerjaan atau materi?

Wahai saudariku, ketika engkau mendirikan shalat menghadap Allah swt tentu engkau berpakaian lebar dan panjang. Engkau tentu tidak berani berpakaian ketat dan pendek. Engkau tentu tidak berani menampakkan sebagian atau seluruh bagian auratmu, atau menampakkan bentuk lekuk-lekuk tubuhmu. Demikian juga halnya di dalam kehidupan sehari-hari di luar (selain) shalat, tentu engkau pasti tidak berani menentang Allah dan Rasul-Nya. Engkau tahu dan paham, ajaran Islam termasuk cara berbusana tidak hanya diamalkan ketika shalat saja, tapi harus diamalkan dalam segala aktivitas kehidupan.

Wahai saudariku, jika engkau tercatat sebagai pelajar/mahasiswi sebuah lembaga pendidikan atau sebagai pegawai sebuah perusahaan tentu engkau mematuhi peraturan berbusana yang ada. Engkau pasti tidak berani menentang peraturan yang ada. Demikian juga halnya sebagai Muslimah, engkau tentu bersedia mematuhi peraturan yang ditetapkan agamamu.

Jika ada pertentangan antara peraturan di mana engkau belajar atau bekerja dengan peraturan agamamu, tentu engkau lebih memilih agamamu. JIka kebijakan pemimpin di tempat belajar atau bekerjamu bertentangan dengan aturan Tuhanmu, tentu engkau lebih takut kepada Tuhanmu dan lebih memilih aturan Tuhanmu. Engkau tahu dan sadar pemimpinmu bukanlah Tuhanmu, tidak mampu menyelamatkan dirimu dari azab di dunia dan di kampung akhirat. Engkau tahu dan sadar engkau tidak ingin ikut masuk neraka jika pemimpinmu masuk neraka. Jangan sampai kelak di akhirat engkau mengatakan kepada Allah swt. perkataan sebagaimana termaktub dalam ayat berikut ini:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

“Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahazab [33]:67)

Wahai saudariku, Allah swt lah yang memberimu pakaian. Maka bersyukurlah kepada-Nya. Bersyukur dengan cara mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya termasuk dalam hal berbusana.

“Wahai hamba-Ku, kamu semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kamu minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.” (HR. Muslim)

Wahai saudariku! Takutlah peringatan nabimu. Beliau saw. memperingatkan wanita-wanita berpakaian tapi telanjang tidak akan bisa mencium bau surga dari jarak jauh. Mencium baunya saja tidak, apalagi masuk ke dalamnya. Na’udzubillah min dzalik! Wallahu a’lam bishshowab.

Karena Ukuran Kita Tak Serupa

Seperti sepatu yang kita pakai, setiap kaki memiliki ukurannya
Memaksakan sepatu kecil untuk telapak besar akan menyakiti
Memaksakan sepatu besar untuk telapak kecil akan merepotkan
Kaki kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi




Dikisahkan, ada seorang lelaki tinggi besar berlari lari di tengah padang pasir. Siang itu, mentari seakan didekatkan sampai sejengkal. Pasir bagaikan membara, ranting ranting menyala di dalam terpaan angin yang keras serta panas. Dan laki laki itu masih berlari lari. Laki laki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan menggunakan surbannya, mengejar serta menggiring seekor anak unta.

Di sebuah padang gembalaan yang berada tidak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi yang memiliki jendela. Sang pemilik, Utsman ibn Affan tengah beristirahat sambil melantun ayat suci Al Quran. Dengan menyandang air sejuk serta buah-buahan, Ketika ia melihat lelaki yang berlari-lari itu dan mengenalinya.

“Masya Allah” Utsman bin Affan berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, laki laki tinggi besar itu adalah Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak Utsman bin Affan sekuat kuatnya dari pintu dangaunya.

“Apa yang tengah kau lakukan di tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding bangunan dangau di samping Utsman bin Affan berderak keras diterpa angin yang kencang.

”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” Umar bin Khatab balas berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi seluruh  lembah dan bukit di selaksa padang pasir.

“Masuklah kemari!” seru Utsman bin Affan “Akan kusuruh pembantuku menangkapnya bagimu!”.

”Tidak!”  balas Umar bin Khatab, “Masuklah Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, wahai Amirul Mukminin. Kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita peroleh kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuk lah engkau hai Utsman, anginnya semakin kencang, badai pasirnya semakin mengganas!”

Angin semakin deras membawa butiran pasir membara. Utsman bin Affan pun akhirnya masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya dan  bergumam,

”Demi Allah, benarlah Umar dan  RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

Umar bin Khatab memang bukan Utsman bin Affan. Pun juga sebaliknya. Utsman bin Affan bukan Umar bin Khatab. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimilikinya.

‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat sifat itu – keras, jantan, tegas, tanggungjawab dan ringan tangan turun gelanggang – dibawa Umar bin Khatab, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

Utsman bin Affan lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani Umayyah yang kaya raya serta terbiasa hidup nyaman sentosa. Umar bin Khatab tahu itu. Maka tak dimintanya Utsman bin Affan ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukanlah kebiasaan Utsman bin Affan. Rasa malu lah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalus an budi perhiasan nya. Ke dermawanan yang menjadi jiwanya. Andai Utsman bin Affan jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu, sang budak pasti dibebaskan karena Allah dan dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah Umar bin Khatab. Dan inilah Utsman bin Affan. Mereka berbeda.


Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa Utsman bin Affan berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia Umar bin Khatab sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat Utsman bin Affan berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah Utsman bin Affan” lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Di dalam dekapan ukhuwah, kita mempunyai ukuran ukuran yang tak serupa. Kita mempunyai latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah, jangan mengukur orang dengan pakaian kita sendiri ataupun pakaian milik tokoh lain lagi. Karena ukuran kita tak serupa.

Di dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetap lah diri nya, tidak ada yang berhak memaksa sesamanya guna menjadi siapa yang ada dalam angan nya.

Di dalam dekapan ukhuwah, beri lah nasehat tulus kepada saudara yang tengah diberi amanah memimpin umat. Tapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz Khatab.

Di dalam dekapan ukhuwah, beri lah nasehat kepada saudara yang tengah di amanahi kekayaan. Tapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya Abdurrahman ibn Auf.

Di dalam dekapan ukhuwah, beri lah nasehat kepada saudara yang di anugerahi ilmu. Tetapi jangan membuat nya merasa berat dengan menuntut nya agar menjadi Zaid binTsabit yang menguasai bahasa Ibrani hanya dalam empat belas hari.

Sungguh sangatlah tak bijak menuntut seseorang agar menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya supaya tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. Ali bin Abi Thalib yang pernah diperlakukan seperti itu, mempunyai jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab" kata lelaki kepada Ali bin Abi Thalib, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaannya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata Ali Bin Abi Thalib sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan Umar bin Khatab, rakyatnya seperti aku. Ada pun di zamanku ini, rakyat nya seperti kamu!”

Di dalam dekapan ukhuwah, segala ke cemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tapi cara nya bukan menuntut orang lain ber perilaku seperti hal nya Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib.

Sebagaimana Nabi Muhamad SAW tidak meminta Sa’ad bin Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahami lah dalam dalam tiap pribadi. Selebih nya jadikan lah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri kita guna berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika teman teman  lain tidak mengikuti.

Sebab keteladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna ke teladanan itu sendiri. Maka jadi lah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Adalah keteladan yang me mahami bahwa setiap hati memiliki kecenderungannya, setiap badan memiliki pakaiannya dan setiap kaki memiliki sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa kedamaian. Di dalam kedamaian pula keteladan nya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjut nya, kita harus belajar guna menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang sah. Sebagai sesama mukmin, per bedaan dalam hal hal bukan asasi tak lagi terpisah sebagai “haq” serta “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” serta “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tidak serupa akan membuat nya lebih berlainan lagi diantara satu dengan yang lain. Seyakin yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak semestinya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

Sepenuh cinta.

Lelaki Dapat Bidadari di Surga, Lalu Perempuan Dapat Apa?

Harapan dan tujuan hidup setiap manusia di dunia ini adalah, untuk memperoleh tempat terindah setelah kematiannya kelak, mendapatkan kenikmatan dan kebahagian hakiki, surga Allah SWT yang penuh keindahan disana.  Karena itu merupakan tujuan utama kehidupan manusia di alam fana.
Tidak ada seorang manusiapun yang ingin terjerumus kedalam siksaan pedih api neraka. Namun sangat disayangkan, tujuan utama itu terkadang hanya dijadikan angan-angan dan hayalan belaka oleh mayoritas manusia tanpa menempuh jalan dan beramal saleh yang membawa dirinya masuk ke dalam Surga. Tentu tindakan dan sikap seperti ini merupakan hal yang lucu bahkan termasuk golongan yang tidak tahu diri. Naudzubillahi mindzalik.
Surga hanya diperuntukkan sebagai ganjaran bagi hamba-hamba Allah yang saleh, yang taat terhadap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah swt menceritakan berbagai macam fasilitas dan kenikmatan yang didapatkan di dalam surga agar manusia tertarik dan termotivasi untuk beramal saleh, bergegas untuk beribadah dan berlomba dalam kebaikan. Ketika kita membuka lembaran-lembaran ayat suci al Quran, kita menemukan bahwa Allah SWT ketika menyebut amalan shaleh, Dia mengiringinya dengan menyebut ganjaran pahala dan perolehan surga yang dihiasai dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, berbagaimacam buah-buahan kesukaan manusia, kebun yang indah, istana megah yang terbuat dari emas dan mutiara, tempat tidur, permadani dan bantal  dari emas  dan permata. Tak ada kehidupan yang paling indah selain di alam surga sana.
Selain itu, Allah SWT juga menceritakan bahwa di dalamnya terdapat bidadari-bidadari cantik bermata jeli yang menjadi isteri bagi kaum Adam yang berada di Surga. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam surat Ar rahman, ayat 46-54. dan surat al Waaqi’ah, ayat 11-40.
Allah juga berfirman : ” Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-rang yang dimuliakan, di dalam surga-surga yang penuh nikmat, di atas tahta tahta kebesaran berhadap-hadapan. Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamer dari sungai yang mengalir. Warnanya putih bersih, sedap rasanya bagi orang orang yang minum. Tidak ada dalam khamer itu al kohol dan mereka tiada mabuk karenanya. Disisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik. ( QS : Ash Shaaffaat, 40-49).
Kenapa Allah SWT menceritakan Bidadari bermata jeli yang merupakan isteri untuk kaum lelaki surga dan tidak menceritakan suami-suami untuk kaum wanita?
Allah menciptakan putera-putera Adam dengan tabiat yang unik, yaitu sangat tertarik dan senang terhadap wanita yang cantik. Anak Adam ini sanggup berkorban dan melakukan apa saja untuk mendapatkan wanita yang disukainya, Maka Allah swt menyebut para bidadari yang cantik, bermata jeli sebagai ganjaran bagi mereka yang beriman. Dengan tujuan, agar anak Adam yang penuh ego ini tertarik dan berlomba-lomba beribadah kepada Allah, antusias beramal shaleh, dan berbuat baik terhadap sesama dan lingkungan alam sekitarnya.
Berbeda dengan perempuan yang memiliki sifat pemalu, bahkan sangat malu sekali. Tabiat wanita sekalipun suka terhadap lelaki namun perasaan malu yang dimilikinya dapat menahan dirinya untuk menampakan rasa suka itu. Dengan demikian Allah SWT tidak mendorong dan memotivasi kaum hawa untuk beramal shaleh dengan cara menceritakan ganjaran yang membuat mereka malu ketika dibaca atau didengar. Misalnya, dengan menceritakan keperkasaan, ketampanan, keanggunan, dan keshalehan pasangan yang mereka dapatkan di surga kelak.
Allah SWT tidak memotiviasi mereka dengan hal seperti itu. Namun dengan tidak menyebut pasangan yang mereka dapatkan, bukan berarti Allah SWT tidak memberikan pasangan di surga. Wanita shalehah yang tidak menikah di dunia atau wanita shalehah yang sudah menikah di dunia tetapi suaminya kelak masuk nereka, mereka akan mendapatkan pasangan lelaki perkasa, tampan, penuh romantis dari golongan manusia yang menyejukan hati dan pandangan mata mereka di dalam surga. Bagaimanapun cantik jelitanya bidadari di Surga sana, namun tetap lebih cantik dan mulia wanita shalehah yang pernah hidup di dunia. Disebabkan ibadah dan ketaatan yang mereka lakukan semasa hidup di dunia. Mereka tidak akan mengalami rasa letih, tidak akan tua dan mereka akan tetap perawan selama-lamanya. Subhanallah…
Rasulullah saw bersabda : ” Dari Aisyah Radhiyallahu anha, rasulullah saw bersabda : Sungguh surga itu tidak dimasuki oleh perempuan tua, sesungguh Allah apabila memasukan mereka kedalam surga Dia akan merubahnya menjadi perawan-perawan. ( HR Ath Thabrani )
Hadis ini dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Mus’idah Bin al Yasa’, dia adalah perawi lemah. Begitu penuturan Ibnu Hajr al Haitsami dalam kitab Majmauz zawaidnya.
Di dalam surga tidak ada seorangpun manusia yang tidak memperoleh pasangan, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘ahu beliau bersabda, ” Tidak ada seorang pun di dalam surga itu yang sendirian (tidak mempunyai pasangan).
Jadi baik laki-laki atau perempan penghuni surga yang tidak mendapatkan pasangan di dunia, Allah akan menikahkan mereka di surga kelak dengan pasangan penghuni surga. Tidak usah merasa terzolimi karena sekedar Allah tidak menyebutkan pasangan bagi kaum perempuan di Surga kelak. Allah SWT Maha Adil terhadap hamba Nya, tak ada seorang hambapun yang dizolimi Nya.